Peran Naskah Digital dalam Studi Humaniora




Beberapa pekan lalu terdapat berita menggembirakan dari Kraton Yogyakarta. Selain diadakan symposium mengenai kekayaan budaya keraton. Secara resmi juga, Keraton menerima hibah naskah-naskah digital dari British Library. Dimana secara fisik, naskah-naskah koleksi tersebut berada di Inggis. Karena dahulu pernah dirampas oleh Gubernur Jenderal Stanford Raffles saat berkuasa di Indonesia. Selain di Inggris, naskah-naskah Kraton juga tersebar di Belanda. (KR, xx/xx/2019).

Berita hibah ini memiliki dua arti penting bagi studi humaniora di Indonesia. Pertama, adanya peluang mengakses secara luas sumber-sumber penelitian humaniora. Dari yang sebelumnya hanya terbatas pada koleksi-koleksi berbentuk fisik yang memiliki kelemahan ketahanan umur. Serta berada dalam lokasi tertentu yang membutuhkan akses lebih bagi peneliti. Misalnya sampai saat ini arsip dan dokumen negara lebih banyak diakses di Arsip Nasional Jakarta. Sementara naskah-naskah nusantara tersebar di berbagai daerah.

Sementara pada arti kedua. Hasil digitalisasi naskah Keraton dari British Library ini juga menjadi “sindiran” telak lemahnya pengelolaan arsip di Indonesia. Di Indonesia, arsip dan sumber penelitian humaniora masih berbentuk fisik. Serta dibutuhkan proses administrasi berbelit-belit. Mayoritas depo arsip di Indonesia jauh tertinggal dalam pengelolaan digitalisasi naskah dan arsip. Di pusat pusat arsip, mengakses arsip dengan lembaran rapuh dan berdebu masih sering ditemui. Hanya ANRI dan Museum Pers Solo yang berusaha mengejar digitalisasi koran tua dan beberapa arsip penting.

Apalagi di pusat-pusat penelitian naskah di Yogyakarta dan Solo. Mengakses naskah masih membutuhkan kehadiran fisik naskahnya. Naskah-naskah lama di Bali yang berbentuk lontar juga masih belum didigitalisasi. Terhitung hanya sedikit naskah dan arsip yang sudah di digitalisasi. Keraton Yogya sendiri berusaha menjawab tantangan ini. Dengan mulai memodernisasi pengelolaan keraton dan juga mendigitalkan naskah-naskahnya pada beberapa tahun terakhir ini.

Kenyataan ini tidak bisa dipisahkan dari buruknya pandangan kita atas sumber-sumber penelitian humaniora. Simpelnya saja, raibnya Topeng Majapahit di Museum Sonobudoyo  dan pemalsuan arca di Museum

Mengapa digitalisasi naskah dan arsip begitu penting?. Dengan mendigitalkan naskah. Maka publik dan peneliti akan secara mudah mengakses sumber-sumber penelitian. Tanpa harus menghadirkan sumbernya secara fisik. Hal ini akan memudahkan peneliti. Serta memudahkan pengelolaan sumber fisik naskah dan arsip. Naskah dan arsip disimpan dalam depo. Atau beberapa naskah yang masuk dalam kategori sakral bisa disimpan Keraton untuk upacara-upacara tertentu. Sementara arsip-arsip yang masuk dalam kategori rapuh bisa disimpan depo arsip. Atau dimusnahkan sesuai aturan perundang-undangan.

Sejatinya proses ini telah banyak dilakukan pengelola naskah dan arsip di Indonesia. Tetapi perkembangannya tidak begitu cepat. Lambat sekali, sehingga mengharusk (Ditulis oleh: Subandi Rianto, Pascasarjana Ilmu Sejarah UGM).
  

Posting Komentar

0 Komentar