Mitos dalam Aksi Serbu Parangtritis

source: pexels,com

Beberapa pekan ini di media sosial tampak ramai dengan tantangan aksi menyerbu Pantai Parangtritis menggunakan baju hijau pada 23 November mendatang. Tantangan ini diklaim bisa menarik peserta yang datang sejumlah lima ribu orang dari berbagai daerah untuk bersama-sama menggunakan baju hijau di Pantai Parangtritis. Kontan saja aksi ini memicu banyak pro-kontra di media sosial dan banyak mengaitkan dengan adanya mitos larangan menggunakan baju hijau di Parangtritis dan sepanjang pantai selatan Pulau Jawa.

Sesungguhnya aksi serbu Parangtritis ini hanya meniru aksi serbu Area 51 di Amerika. Aksi serbu Area 51 dimunculkan karena rasa ingin tahu masyarakat mengenai Area 51 yang merupakan fasilitas militer tentara Amerika dengan penjagaan sangat ketat dan sangat rahasia, serta diklaim menciptakan senjata kimia, biologis dan bahkan menyimpan alien. Pembuat aksi mengklaim bahwa aksi penyerbuan mereka untuk membuktikan apakah ada alien disana.

Otoritas militer Amerika menanggapi wacana aksi ini dengan dua sikap: memastikan bahwa penjagaan akan terus ditambah dan meminta masyarakat tidak melakukan aksi absurd ini. Selanjutnya mereka juga berasumsi bahwa aksi ini dibuat oleh anak-anak muda yang sebenarnya kurang kerjaan dan pemalas untuk menciptakan kreativitas.  

Jika dibandingkan dengan aksi menyerbu Parangtritis, seolah-olah pembuat aksi ingin membuktikan bahwa menyerbu Parangtritis sambil berbaju hijau tidaklah apa-apa dan mementahkan mitos yang beredar di masyarakat. Lalu bagaimana kita menyikapi rencana aksi ini?

Pertama dan utama, kita harus memahami bahwa mitos tidak selamanya buruk. Menempatkan mitos dalam alam pikir rasional dan agama, perlu pemahaman khusus. Karena tidak bisa serta merta kita mengkritik mitos hanya berdasarkan klaim agama dan rasionalitas saja tanpa mempertimbangan struktur mitos dalam alam pikir masyarakat. Pada beberapa kondisi justru mitos digunakan masyarakat agama dan rasional untuk menciptakan relasi yang baru.

Sementara itu dalam beberapa studi historiografi sejarah, mitos memegang peranan penting dalam menciptakan alam pikir masyarakat yang bersifat ekslusif, melindungi kepentingan masyarakat dan bahkan menjadi alat rekonsiliasi. Pada contoh yang sederhana, beberapa mitos diciptakan untuk melestarikan lingkungan alam, mewaspadai adanya bencana alam, atau karena nalar budaya manusia belum mencapai teknologi berpikir pada tahap tertentu. Sehingga mitos diciptakan oleh pemangku kepentingan saat itu agar manusia tidak melanggar batas-batas kesepakatan budaya mereka
. Misalnya, mengapa mitos Nyi Roro Kidul diciptakan oleh masyarakat Jawa? Karena pada saat itu mereka tidak mengenal teknologi berpikir geografi soal palung laut, gempa apalagi tsunami. Manusia Jawa saat itu yang berbudaya agraris hanya bisa meng-ekslusi diri dengan melakukan penghormatan kepada penguasa laut selatan dengan upacara-upacara untuk menghindarkan diri dari amukan lautan. Mitos ini kemudian bertransformasi menjadi alat rekonsiliasi, diwujudkan dengan mitos pernikahan Sultan Mataram dengan Ratu Laut Selatan sebagai upaya rekonsiliasi bahwa masyarakat Jawa bersahabat dengan penguasa laut.

Kedua, perlu adanya kebijaksanaan manusia rasional untuk menghargai mitos. Aksi penyerbuan Parangtritis dengan berbaju hijau sejatinya mencerminkan pembuat aksi tak memahai perbedaan alam rasionalitas dan alam mitos. Manusia yang hidup dalam alam rasio seperti mereka yang beragama, bersekolah hingga pendidikan tinggi biasanya cenderung meremehkan mitos. Karena bagi mereka, mitos telah melekat steorotip sebagai upaya pembodohan, pemiskinan dan bahkan penipuan kepada masyarakat. Sementara bagi mereka yang hidup di alam mitos, terutama kalangan pedesaan yang masih bersifat kejawen, melanggar mitos bisa berakibat fatal terhadap keseimbangan kehidupan karena mereka akan mendapat karma. Pada posisi ini, manusia yang hidup dalam alam rasional hendaknya menghormati pandangan-pandangan alam mitos mengenai kestabilan keseimbangan hidup mereka.

Ketiga, perlu upaya preventif pemerintah menjelaskan secara rasional kepada masyarakat bahwa parangtritis dan pantai selatan Jawa menyimpan resiko yang tak terlihat seperti adanya palung laut, sesar megathrust hingga luapan air rob. Serta adanya potensi resiko bahwa berbaju hijau akan menyulitkan tim SAR mengevakuasi jenazah korban hanyut karena warnaya terlihat sama dengan warna laut selatan.

Banyaknya kejadian wisatawan tenggelam terseret arus karena ngeyel melanggar aturan harusnya menyadarkan kita, bahwa tak selamanya alam rasio bisa mendominasi alam mitos. Sebagai manusia rasional yang hidup dalam budaya, seharusnya kita menghargai mitos dengan mengambil nilai-nilai positifnya.  (Oleh: Subandi Rianto, Pascasarjana Ilmu Sejarah UGM)






Posting Komentar

0 Komentar