Budaya dalam Pendidikan


Perubahan Budaya dalam Pendidikan
Oleh: Subandi Rianto
Pascasarjana FIB UGM


Penerimaan siswa baru dalam bentuk zonasi telah usai dan menyisakan evaluasi baik di tingkat kebijakan hingga tingkat operasional. Pada umumnya permasalahan kebijakan berkaitan dengan penetapan lokasi sekolah negeri yang tidak merata, jangkauan zonasi sekolah dengan peserta didik yang berbeda-beda, serta acuan nilai yang tidak lagi menjadi acuan mutlak pada sistem zonasi (terkecuali pada jalur prestasi dan jalur pindahan). Kebijakan ini menyebabkan banyak siswa yang berada masuk zona satu sekolah walaupun nilai rendah lebih diutamakan ketimbang mereka yang nilai tinggi tetapi berada dalam zona yang jauh.

Sementara pada tingkat operasional, terdapat masalah dalam melihat petunjuk teknis serta ketidaktahuan wali murid dalam melihat waktu pengambilan token. Pihak sekolah memberikan waktu yang banyak, tetapi wali murid memaksakan berlomba-lomba di hari pertama. Selain itu, khususnya di Sleman, kebijakan legalisir dokumen juga merupakan masalah operasional mubadzir di era digitalisasi ini.

Hal yang sama terjadi tahun lalu di tingkat provinsi, pada jalur siswa tidak mampu diwajibkan melakukan legalisasi dokumen di Balai Dikmen dengan sebelumnya meminta surat keterangan dari Dinas Sosial kota atau kabupaten. Panjangnya jalur ini untuk mendapatkan akses SKTM dilatarbelakangi belum sinkronnya data kemiskinan antara pusat dan daerah, mengenaskan bukan? Antrian panjang di dinas sosial hingga balai dikmen mengular panjang. Kekurangan ini terus memberi alarm bahwa data tunggal kependudukan masih pekerjaan rumah kita bersama.

Budaya baru sistem zonasi yang digulirkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ini sejatinya amat bagus untuk membangun budaya pendidikan yang baik, seperti meratakan sekolah-sekolah berkualitas (dengan menghapus steorotip sekolah favorit dan non-favorit), mendistribusikan siswa siswa pada zona sekolah terdekat dan pada jangka panjang mengurangi kemacetan transportasi yang diakibatkan pergerakan siswa dari rumah ke sekolah yang jauh. Semua pihak memahami bahwa sistem ini berusaha meniru sistem pendidikan di negara maju yang memprioritaskan sistem zonasi.

Persoalannya adalah pondasi untuk ke arah sana masih jauh dari panggang. Jika artikel-artikel lain telah mengkritisi tidak meratanya sekolah-sekolah negeri di tiap kecamatan dan kelurahan, serta memberikan penjelasan dampak tersingkirnya siswa-siswa pintar dari sekolah negeri. Maka artikel ini secara khusus menyoroti belum siapnya pemangku kepentingan melakukan perubahan budaya pendidikan.

Pertama, pada pemangku pendidikan tingkat nasional harus berhenti membudayakan lempar handuk dan saling ancam. Kondisi saat ini, di pusat terlihat mengancam daerah yang tidak melaksanakan aturan dengan potongan dana dari kemenkeu. Pusat harusnya membiasakan diri proaktif dengan mendampingi daerah-daerah yang terseok-seok.

Kedua, pemangku pendidikan di daerah harus memangkas birokrasi yang rumit, misalnya mengantisipasi aksi titip nama di kartu keluarga sejak jauh-jauh hari, serta mengurangi hal hal tidak penting (semacam legalisasi atau memberi aturan antrian sejak shubuh hari). Kasus yang mengenaskan pernah terjadi di Jawa Tengah dimana siswa berebut kursi sejak shubuh, dan kemarin orang tua harus menginap hanya sekedar antri mengambil token. 

Jika kita sering bicara industri 4.0, harusnya sistem antrian bisa diperbaiki dan ditata dengan lebih rapih via online misalnya. Aparatur negara harus mencontoh perusahaan perusahaan swasta yang jauh lebih maju, efektif, efisien dalam tatakelola pendaftaran dan rekrutmen.

Ketiga, ini yang paling penting bagi orang tua adalah membaca juknis dengan lebih detail, merubah mindset budaya old school dan berlatih untuk membiasakan diri dengan budaya baru. Beberapa tahun lalu, saat PPDB dikenalkan secara online masih banyak wali murid yang datang ke sekolah hanya untuk melihat informasi penerimaan. Tahun ini, bahkan masih berebut mengambil token di hari pertama dengan alasan peluang mendaftar hari pertama lebih besar. 

Kecermatan, ketelitian dan strategi dalam membaca juknis dari otoritas pendidikan adalah kunci merubah budaya pendidikan di wali murid. Pada kasus jogja, dinas pendidikan sudah memfasilitasi aplikasi Jogja Smart Service (JSS) untuk pemutakhiran data. Persoalannya apakah fasilitas ini digunakan? Karena sejatinya banyak orang bisa bermain sosial media tetapi selalu gagap dalam mencermati petunjuk-petunjuk yang telah disediakan dalam website maupun aplikasi.




Posting Komentar

0 Komentar